Selasa, 07 Juni 2011

Membangkitkan Sensifitas Kemanusiaan Anak

Di suatu daerah, tinggallah sebuah keluarga nan harmonis dan rukun. Sepasang suami istri, dua anak, dan seorang ibu dari suami yang juga nenek dari dua anak tersebut. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana. Tidak ada perkelahian antara dua anak tersebut. Begitu pula dengan kedua pasang suami istri. Sementara sang ibu, menikmati masa tua dengan bahagia bersama cucu-cucunya.

Dan di suatu hari pula, dua anak tersebut berlari menentang tas rangsel mereka, pulang dari sekolah dengan wajah gembira. Di tangan mereka ada dua kertas yang dipegang erat-erat seakan tidak ada yang boleh mengambilnya. Setelah sampai dirumah, mereka berlari menemui ibu untuk menunjukkan isi yang ada dalam kertas tersebut.


“Ibu…! Nilai ulangan Asmira dapat 100!” anak pertama melapor.

 “Nilai Dina juga 100, Bu!” anak kedua juga melapor.

Si ibu, dengan segenap kebahagiaan yang ada dalam hatinya, mengembangkan tangannya memanggil dua anaknya kepelukannya. Dan dengan berlari, sang anak memeluk ibunya yang langsung menciumi kedua anak tersebut.

 Walhasil, berita suka cita tersebut terdegar oleh sang bapak di malam hari ketika baru pulang dari kantornya. Dengan perasaan senang, sang bapak menjanjikan liburan keluar kota untuk merayakan keberhasilan dua anak tercintanya. Semua anggota keluarga setuju, tidak terkecuali nenek dua anak tersebut yang semakin memasuki usia renta.

Tanggal untuk berlibur telah ditetapkan. Tujuan pun telah ditentukan. Namun, apa asa, sang nenek yang telah tua renta tiba-tiba mendadak sakit. Penyakitnya kambuh dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Si Bapak bingung. Di satu sisi, ia berposisi sebagai anak yang harus membahagiakan Ibunya dengan menjaganya ketika sakit. Dan di sisi lain, ia bertindak sebagai bapak yang harus membahagiakan anak-anaknya dengan liburan. Namun, hidup adalah pilihan. Dan dia harus memilih akibat biaya yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan keduanya.

Akhirnya di suatu malam. Dengan perasaan yang sedih. Ia mengajak kedua anaknya untuk membicarakan masalah penundaan liburan. Ada perasaan tidak enak dihatinya ketika, di awal janji liburan dahulu, ia mengetahui bahwa anak-anaknya sangat berbahagia ketika ia mengajak mereka berlibur. Tapi apa daya, perawatan ibu harus didahulukan. Dan tentunya akan berakibat pada liburan yang harus ditunda bahkan dibatalkan.

“Nak! Nenek sedang sakit dan membutuhkan biaya yang besar untuk perawatannya. Sementara, bapak tidak punya uang lebih. Liburan yang telah kita rencanakan itu dibatalkan dulu ya? Nanti ketika bapak sudah punya uang, kita akan liburan. Ok?” Ujar sang bapak dengan perasaan sedih di hatinya karena ia tahu perasaan anak-anaknya.

Tidak ada jawaban dari kedua bibir anaknya beberapa saat. Si Bapak pun tidak berani memaksakan kehendaknya hingga akhirnya kedua anak tersebut berlari kekamar mereka masing-masing. Bertambahlah kesedihan yang ada dalam diri sang Bapak terhadap apa yang dirasakan oleh dua buah hatinya yang tersayang.

Belum hilang rasa sedih yang ada dalam benak sanubari sang bapak ketika kedua buah hatinya keluar dari kamarnya. Namun yang terlihat adalah, di kedua tangan kedua anaknya tersebut, celengan tabungan berbentuk ayam. Kedua anak tersebut mendekati sang bapak seraya berkata.

“Pake aja uang Asmira untuk kesembuhan nenek, Pak!”

“Uang Dina juga!”

***

Membaca kisah di atas mungkin akan membuat kita bersedih bahkan menangis. Bagaimana tidak, seorang anak yang disangka akan menolak mentah-mentah pembatalan liburan, melakukan sesuatu yang sangat mulia dengan mengeluarkan tabungannya. Liburan, yang pada hakikatnya adalah hak anak, akhirnya dibatalkan.

Namun, kenyataan seperti diatas sangat berbanding terbalik dengan berita-berita aborsi yang menghiasi media cetak akhir-akhir ini. Begitu pula dengan pemberitaan mengenai sosok bayi yang di buang ke selokan dan tong-tong sampah. Penelantaran anak dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, kenapa hal ini dapat terjadi? Bukankah keberadaan anak atau generasi penerus adalah harapan yang akan meneruskan perjuangan mereka? Sebagaimana pernyataan yang di lontarkan presiden pertama republik Indonesia, Soekarno, yang mampu mengubah keadaan dunia dengan hanya menggunakan sepuluh pemuda saja?

Cintailah anak atau generasi penerus, setidaknya, itu yang harus di pahami bersama. Karena merekalah yang kelak akan membacakan sejarah-sejarah perjuangan generasi masa kini ataupun generasi terdahulu. Merekalah yang melanjutkan perjuangan-perjuangan dan pekerjaan-pekerjaan yang generasi sebelumnya.

Sumber: pembelajar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar